Pendahuluan
Revolusi Industri 4.0 telah membawa transformasi besar dalam dunia kerja, ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Di satu sisi, kemajuan ini menghadirkan efisiensi dan otomatisasi yang menguntungkan banyak sektor industri. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran besar terkait nasib para buruh, terutama mereka yang bekerja dalam sektor informal atau sektor pekerjaan fisik yang berulang. Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran literatur mengenai bagaimana posisi buruh dalam era AI, serta memberikan solusi dan masukan bagi para pemangku kepentingan. Lebih dari itu, artikel ini juga ingin menyampaikan pesan positif kepada para buruh bahwa perkembangan teknologi bukanlah akhir dari peran mereka, tetapi justru awal dari peluang baru yang lebih besar.
Transformasi Dunia Kerja dan Posisi Buruh
Menurut laporan World Economic Forum (2020), otomatisasi diperkirakan akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan secara global pada tahun 2025, namun juga menciptakan 97 juta jenis pekerjaan baru yang lebih adaptif terhadap teknologi. Akan tetapi, transisi ini tidak selalu berjalan mulus, terutama bagi para buruh yang selama ini hanya mengandalkan keterampilan manual. Profesi seperti operator mesin, pengemas barang, hingga tenaga kebersihan, mulai terancam digantikan oleh mesin atau sistem otomatis berbasis AI.
Buruh dengan keterampilan rendah menjadi kelompok paling rentan. Ketimpangan antara perkembangan teknologi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi tantangan tersendiri. Banyak buruh belum memiliki akses terhadap pelatihan keterampilan digital atau peningkatan kapasitas yang relevan dengan tuntutan zaman. Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa teknologi tidak sepenuhnya menggantikan manusia, melainkan mengubah cara kerja dan membuka jalan bagi bentuk-bentuk pekerjaan baru yang lebih produktif dan bermakna (Arntz et al., 2016; McKinsey Global Institute, 2017).
Peluang Baru di Tengah Ancaman
Meskipun terdapat ancaman nyata terhadap pekerjaan tradisional, era AI juga membuka peluang baru bagi para buruh. Dengan pelatihan yang tepat, buruh dapat beralih ke bidang-bidang yang membutuhkan keterampilan baru, seperti pengawasan sistem otomatis, teknisi pemeliharaan mesin berbasis AI, atau bahkan operator perangkat lunak sederhana.
Beberapa studi menunjukkan bahwa AI tidak selalu menggantikan tenaga manusia secara total, tetapi lebih sering mengambil alih tugas-tugas repetitif, sehingga manusia dapat lebih fokus pada pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, empati, dan penilaian moral (Bessen, 2019; Brynjolfsson & McAfee, 2014). Dalam konteks ini, buruh memiliki kesempatan untuk mengembangkan peran yang lebih strategis dalam sistem produksi.
Buruh yang dahulu hanya dianggap sebagai pelengkap sistem produksi, kini dapat naik kelas menjadi pelaku utama dalam transformasi industri berbasis teknologi. Ini adalah peluang besar untuk meningkatkan kualitas hidup dan harkat sosial para buruh.
Peran Pemerintah dan Institusi Pendidikan
Pemerintah memiliki peran sentral dalam menciptakan ekosistem yang adaptif terhadap perubahan teknologi. Program pelatihan vokasi dan reskilling harus digencarkan, terutama bagi pekerja yang rentan terdampak. Selain itu, diperlukan insentif bagi industri yang mau berinvestasi dalam peningkatan kapasitas buruhnya, bukan hanya dalam bentuk mesin.
Pemerintah tidak boleh memandang buruh sebagai entitas yang usang di tengah kemajuan teknologi. Justru sebaliknya, buruh adalah fondasi pembangunan ekonomi bangsa yang memiliki potensi luar biasa jika diberi akses yang adil terhadap teknologi dan pendidikan. Kebijakan yang berpihak kepada buruh akan memperkuat daya saing nasional sekaligus menjaga stabilitas sosial (ILO, 2021; OECD, 2019).
Institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi dan lembaga kursus, juga harus merespons perubahan ini dengan menyediakan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masa depan. Pendidikan berbasis teknologi tidak hanya perlu diberikan kepada siswa sekolah, tetapi juga secara inklusif kepada masyarakat umum, termasuk para buruh.
Peran Akademisi dan Tokoh Masyarakat
Akademisi dapat memberikan kontribusi penting melalui riset-riset yang mendalam tentang dampak AI terhadap ketenagakerjaan. Hasil riset ini sebaiknya tidak berhenti di meja akademik, tetapi diterjemahkan dalam bentuk rekomendasi kebijakan yang aplikatif dan mudah dipahami masyarakat (Freeman & Goroff, 2009; Etzkowitz & Leydesdorff, 2000).
Tokoh masyarakat, termasuk pemuka agama, aktivis sosial, dan tokoh budaya, juga diharapkan dapat menyuarakan isu-isu keadilan sosial dalam konteks transformasi digital. Mereka berperan dalam membentuk opini publik yang mendukung perlindungan terhadap buruh serta mendorong kolaborasi lintas sektor.
Solusi dan Rekomendasi
- Reskilling dan Upskilling Massal: Pemerintah, dunia usaha, dan LSM perlu berkolaborasi untuk menyediakan pelatihan keterampilan baru bagi buruh.
- Jaminan Sosial yang Kuat: Perubahan pekerjaan akibat AI perlu diimbangi dengan perlindungan sosial yang memadai bagi buruh yang terdampak.
- Kebijakan Inklusif: Regulasi ketenagakerjaan harus diperbaharui agar mencakup perlindungan buruh di era digital, termasuk bagi pekerja platform.
- Pendidikan Digital untuk Semua: Akses terhadap literasi digital perlu diperluas hingga ke pelosok dan komunitas buruh.
- Dialog Sosial Berkelanjutan: Perlu adanya forum rutin antara pemerintah, industri, serikat buruh, dan masyarakat sipil untuk membahas arah kebijakan ketenagakerjaan.
Penutup
Era AI tidak dapat dihindari. Namun, keberlangsungan hidup buruh tidak harus menjadi korban dari kemajuan teknologi. Justru dalam era baru ini, buruh dapat menjadi aktor utama yang menggerakkan ekonomi bangsa, jika diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
Melalui kolaborasi semua pihak—pemerintah, akademisi, tokoh masyarakat, dan masyarakat umum—dapat tercipta keseimbangan antara efisiensi teknologi dan keadilan sosial. Artikel ini mengajak kita semua untuk melihat AI bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang emas untuk membangun ekosistem kerja yang lebih manusiawi, adil, dan berkelanjutan. Kepada para buruh: masa depan masih milik Anda, selama Anda terus belajar, berkembang, dan percaya pada nilai kerja keras yang Anda miliki.
oleh Wahyudi Ariannor (artikel dibuat dengan bantuan AI)