Pendahuluan
Kehadiran kecerdasan artifisial atau lebih dikenal dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah merevolusi hampir setiap aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. AI menawarkan kemudahan akses terhadap informasi, bantuan dalam menyelesaikan tugas, serta efisiensi dalam proses belajar-mengajar. Namun, seiring dengan berbagai kemudahan itu, muncul pula tantangan baru: apakah AI benar-benar mencerdaskan, atau justru membuat manusia, terutama pelajar kehilangan daya kritisnya?
Artikel ini bertujuan mengulas secara reflektif peran AI dalam dunia pendidikan, menyoroti potensi dan risikonya, serta mengajak semua pemangku kepentingan untuk menjadikan AI sebagai mitra dalam mencetak generasi pembelajar yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga tangguh secara intelektual dan etis.
AI dalam Pendidikan: Antara Kemudahan dan Ketergantungan
AI kini menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Aplikasi seperti ChatGPT, Grammarly, hingga platform pembelajaran berbasis AI telah mempermudah siswa dan guru dalam mencari jawaban, menyusun esai, menerjemahkan bahasa, dan bahkan menilai tugas secara otomatis. Transformasi ini patut disyukuri, karena membuka akses belajar yang luas, cepat, dan personal.
Namun, di balik manfaatnya, terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan. Banyak siswa yang menggunakan AI bukan sebagai alat bantu, melainkan sebagai alat utama untuk menjawab soal atau menyelesaikan tugas tanpa memahami isinya. Sebuah studi oleh Liu, Zhang, dan Biebricher (2024) dalam Computers & Education menunjukkan bahwa penggunaan AI generatif seperti ChatGPT dapat memengaruhi proses kognitif mahasiswa dalam menyusun tugas, di mana siswa cenderung mengandalkan saran dari AI secara langsung dalam penulisan multimodal, sering kali tanpa refleksi kritis yang mendalam terhadap konten yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan keterlibatan kognitif dalam proses belajar. Lebih lanjut, riset oleh UNESCO (2021) menekankan pentingnya literasi digital dan etika AI dalam pendidikan untuk mencegah ketergantungan pasif terhadap teknologi cerdas. AI dijadikan 'mesin jawaban', bukan 'mitra belajar'. Ketika siswa menerima begitu saja hasil dari AI tanpa menelaah atau mengkritisinya, proses belajar yang seharusnya membentuk nalar justru berubah menjadi sekadar menyalin dan menempel.
Kecerdasan Semu: Ketika Teknologi Menggantikan Nalar
Fenomena ini melahirkan apa yang bisa disebut sebagai "kecerdasan semu", tampak cerdas karena mampu menyelesaikan tugas, tetapi sesungguhnya tidak memahami. Dalam konteks ini, AI bukan lagi mencerdaskan, melainkan berpotensi menjadi alat pembodohan jika tidak digunakan secara bijak.
Belajar adalah proses aktif yang menuntut pemikiran kritis, refleksi, dan pemahaman mendalam. Seperti ditegaskan dalam laporan OECD (2021), proses pembelajaran yang bermakna harus melibatkan siswa dalam berpikir tingkat tinggi dan refleksi yang mendalam terhadap pengetahuan yang diperoleh, bukan sekadar mengonsumsi informasi. Temuan dari Schleicher (2021) juga menyebutkan bahwa pendidikan yang terlalu mengandalkan teknologi tanpa pendekatan pedagogis yang tepat justru dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah siswa. Ketika siswa menyerahkan semua proses itu pada AI, maka hilanglah esensi pembelajaran itu sendiri. Lebih parah lagi, ketergantungan pada AI bisa membuat siswa tidak percaya diri terhadap kemampuan berpikirnya sendiri.
Menjadikan AI Sebagai Mitra Belajar, Bukan Pengganti Berpikir
AI harus ditempatkan pada posisi yang tepat: sebagai mitra, bukan sebagai pengganti. AI dapat menjadi teman diskusi, pemberi inspirasi, atau pengarah awal dalam memahami materi. Namun, hasil dari AI harus tetap disaring dengan akal sehat, dikritisi dengan nalar, dan diperkuat oleh pemahaman pribadi.
Untuk itu, diperlukan kesadaran dan pembiasaan kepada siswa agar tidak semata-mata mengejar hasil instan, tetapi tetap menghargai proses belajar. Guru memiliki peran penting untuk memfasilitasi pembelajaran berbasis eksplorasi dan berpikir kritis, bukan hanya pengumpulan jawaban. Seperti dikemukakan oleh Tuomi (2018), peran guru di era AI menjadi semakin penting dalam menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan literasi digital kritis di kalangan siswa. Penelitian lain oleh Holmes et al. (2019) juga menekankan bahwa guru tidak dapat digantikan oleh AI karena hanya manusia yang dapat membimbing proses refleksi, diskusi, dan pengembangan karakter belajar secara utuh.
Peran Guru, Orang Tua, dan Institusi Pendidikan
Guru tidak perlu merasa tersaingi oleh AI. Sebaliknya, AI dapat membantu guru dalam menyesuaikan gaya mengajar dan memberikan umpan balik yang lebih personal. Namun, guru tetap harus menjadi pengarah utama dalam pembelajaran, memastikan bahwa teknologi digunakan untuk memperkaya pengalaman belajar, bukan menggantikannya.
Orang tua juga berperan dalam membimbing anak-anaknya agar tidak terjebak dalam zona nyaman teknologi. Diskusi di rumah, pembiasaan membaca dan berpikir reflektif, serta membangun budaya bertanya menjadi langkah penting untuk menumbuhkan karakter pembelajar sejati. Seperti yang disampaikan oleh Asmayawati (2023), keterlibatan orang tua dalam pembelajaran digital anak usia dini memiliki dampak positif yang signifikan, terutama dalam meningkatkan literasi digital anak dan mengelola waktu layar secara seimbang..
Institusi pendidikan pun harus menyusun kebijakan penggunaan AI yang bijak dan mendidik, bukan melarang sepenuhnya. Dengan cara membekali literasi digital dan etika penggunaan AI secara sistematis.
Solusi dan Rekomendasi
- Literasi AI Sejak Dini: Siswa perlu diajarkan bagaimana cara menggunakan AI secara bijak, termasuk mengenali kelebihan dan keterbatasannya.
- Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah: Mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mencari solusi, bukan sekadar mencari jawaban.
- Penilaian Berbasis Proses: Menilai pemahaman dan refleksi siswa, bukan hanya hasil akhir.
- Kolaborasi Manusia dan AI: Mengembangkan keterampilan kolaboratif antara kemampuan manusia (kritis, etis, empatik) dan AI (otomatisasi, analisis cepat).
Penutup
AI dalam pendidikan bukanlah kutukan atau berkat semata. Ia adalah alat yang netral, tergantung pada cara kita menggunakannya. Jika digunakan dengan bijak, AI dapat membantu mencerdaskan bangsa dan membangun generasi yang mandiri, kritis, dan kreatif. Namun jika disalahgunakan, AI justru bisa melumpuhkan nalar dan menjauhkan kita dari esensi pendidikan yang sejati.
Oleh karena itu, mari kita bersikap optimis dan bijaksana. Teknologi tidak akan menggantikan guru, tetapi guru yang menggunakan teknologi dengan bijak akan menggantikan yang tidak. Mari kita jadikan AI sebagai sahabat dalam perjalanan belajar kita, bukan sebagai pengganti berpikir. Seperti yang pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, "Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya." Maka dari itu, teknologi seperti AI seharusnya menjadi alat bantu dalam menuntun, bukan dalam menggantikan proses berpikir itu sendiri.
oleh Wahyudi Ariannor (artikel dibuat dengan bantuan AI)